AKU TETAP SAYANG
Nisa memandangi hujan yang turun. Hujan membuat halaman, tanah, daun dan pohon menjadi basah. Udara dingin menusuk tulang. Sengaja Nisa tak mengenakan baju hangat. Nisa sedang marah pada hujan karena membuatnya tak bisa bermain dan harus terkurung di kamar. Sehari saja tidak bisa bermain di luar, Nisa kesal dan marah-marah. Meskipun terkadang dia juga tidak tau mesti bermain apa. Pokoknya Nisa tidak suka berada di dalam rumah yang slalu disebutnya sebagai “rumah hantu”. Sebab slalu sepi tak ada orang. Padahal masih ada Bi Surti, Bi Iyah, Pak Wito dan tukang kebun. Tapi bagi Nisa percuma saja ada mereka kalau papa dan mama tak pernah ada di rumah.
“Non Nisa, makan dulu”. Ajak Bi Surti.
Nisa tidak menjawab, tetap memandangi hujan.
“Makan di kamar ya, bibi bawakan”.
Nisa menggeleng, “belum lapar”.
Bi Surti tidak bertanya lagi. Dia paham betul dengan nonanya ini. Jika berkata tidak tetap tidak. Padahal dulunya Nisa sangat supel, ceria dan jarang sedih. Tapi sejak orang tuanya sering ribut, bahkan jarang pulang, Nisa tak lagi tersenyum. Pulang sekolah, dia langsungmain di halaman. Main boneka yang dijadikan sebagai mama dan papa.
Nisa masih tetep memandangi hujan yang semakin deras. Nisa menyadari apa yang telah terjadi diantara mama dan papanya. Bahkan telah mebayangkan mereka akan berpisah. Kalau saja dia memiliki kakak, mungkin bebannya tidak seberat ini.
Suatu hari saat pulang sekolah, Nisa berjalan kaki sambil menunggu Pak Ilham, supir papanya datang menjemput. Nisa berjalan sambil melamun. Pandangan matanya tidak mengarah ke jalan. Tiba-tiba Nisa tersentak kaget ketika seseorang berteriek karena tertabrak olehnya. Ternyata dia menabrak anak perempuan sebayanya yang sedang membawa setumpuk koran.
“Maaf aku tidak sengaja”. Ujar Nisa sambil memunguti koran yang berserakan.
“Kamu sedang melamun ya?”. Tanya anak itu.
“Maaf aku hanya tidak memperhatikan jalan, siapa namamu?”. Tanya Nisa.
“Aku Tika, kamu anak orang kaya ya? Wah, pasti hidupmu enak. Tidak seperti ku untuk makan dan beli baju saja harus bersusah payah menjual koran”.
“Kemana orang tuamu?”. Tanya Nisa.
“Aku sudah tak punya siapa- siapa. Setiap hari aku bekerja keras supaya bisa makan. Kamu sih enak masih bisa sekolah. Aku ingin sepertimu “. Ujar Tika sedih.
“Datanglah ke rumahku setiap sore. Kita belajar bersama ini kuberi alamat dan nomor teleponku”.
Tika memandangi Nisa dengan pandangan tak percaya hingga tak mampu berkata, kata Nisa mengangguk lalu prrgi. Entah mengapa hatiya agak lega.
Ternyata nasibnya masih lebih baik. Setidaknya masih memilikiorang tua dan tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun mungkin orang tuanya berpisah. Mungkin itu yang terbaik untuk mereka dan Nisa akan tetap menyayani keduanya.
Jumat, 03 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
josss. tolong diindahkan and tambah lagi isinya donkkkkk...
BalasHapus